rangkaian_kisah

Tuesday, January 25, 2005

Rembulan Mengambang Di Kali Bangkai

Rembulan Mengambang Di Kali Bangkai
Cerpen Titon Rahmawan

Kala malam papa seorang lelaki membawa senyumnya paling beku mengendap-endap di balik jendela hasratkan rembulan sayu. Malam kering menyimpan ketakutan dan maut dalam matanya, seperti kabut yang dingin menyentuh tengkuk malam. Daun-daun di pucuk pohon waru bergoyang perlahan membuat batu-batu di halaman berdiri, menggelinjang kedinginan dan basah air kencing di ujung rerumputan sebarkan aroma menusuk. Di balik remang malam dalam sebuah bilik terkunci, seorang perempuan terbaring lena bermimpi tentang sepi angan-angan terbang merambah malam menanti kekasih pulang meronda. Waktu yang berkeloneng, rembulan sungsang dan dingin yang menelisik begitu menggoda, malam resah berbisik di telinga parewa, lelaki laknat mendesah…ah bukankah ini juga yang engkau mau… birahi malam…yang engkau tunggu-tunggu?
Kelelawar terbang di ujung malam bercericit seperti bayang-bayang mabuk sembunyi di balik rimbun pohon kamboja. Nisan-nisan di pinggiran desa termangu diam di atas onggokan tanah kelabu rebah, membawa selaksa kisah dari tepian kubur. Pagar-pagar kayu warna putih kusam sepanjang gerbang-gerbang desa yang sepi kian terlelap mengangguk-angguk oleh alunan mimpi, tirai pohon bambu yang gelap berkesiur terbuai angin resah, tidur yang gelisah menghitung sisa waktu tak kunjung menjelang, fajar yang tak juga datang pada suara rengeng-rengeng rumah gedek tetangga di kejauhan, seorang ibu masih terdengar menina bobok bayinya mengayun buaian melantunkan dandanggula, terbit lentik cahaya dari lentera berkebat-kebit terhela angin sembribit.
Perempuan molek terbaring gelisah dibalut mimpi yang resah terkurung dalam bilik terkunci, hasratkan lamunan, cahaya rembulan yang telanjang menerobos kisi-kisi jendela hendak puaskan dahaga malam. Semburat cahaya wilwatikta naungi batin sunyi sepi tatkala tembang asmaradahana mengalun jauh ke dalam lubuk hati gundah gulana. Langit penuh petaka siratkan isyarat kunang-kunang yang hasratkan terbang pulang meniti bias-bias titik-titik embun di ujung patera. Rintik hujan yang turun dan luruh daun-daun membawa seribu laknat bagi jiwa musafir kehausan di tengah belantara gurun.
Degup hasrat lelaki laknat begitu leta membelai-belai jantungnya, sisipkan mantra pada hening malam biar semua mata terpejam, terpejam seribu tahun, dan biarlah dunia sesaat mati tanpa cahaya, dan hasrat kuat membelenggu seperti rantai-rantai besi yang mengikat hati perawan, koyak moyakkan batin perjaka, jiwanya tak putih lagi, tak putih lagi. Demi khianat langit dan hasrat malam sepi yang tak direstui di semburnya palung bumi yang paling dalam, dan air keruh kian membual dari sumur hasrat, mata khianat hati khianat, torehkan belati tikam jantung rembulan kucurkan darah sendiri tak merah lagi, laki-laki laknat mengerkah jendela dan menyusup diantara jeruji malam melewati remang titian cahaya.
Mata nyalang lelaki laknat tersihir oleh sungai rembulan yang berkilau sepanjang bukit-bukit dan lembah begitu menggoda, penuhi angan dan mimpinya akan sejuta cahaya. Membayang tenang wajah sang gadis nan molek tergolek di atas pembaringan beku, redup samar menyentuh hasratnya dengan kerlip cahaya, rembulan tengah malam yang tak henti menitik ke atas peraduan sepi. Duhai kekasih dewata terbaring lena di peraduan, tersentuh jiwa lelaki oleh sayup-sayup tembang asmaradahana dikejauhan hati, suara malam yang jatuh ke atas permukaan kali bangkai. Senyap senyum sang gadis terbuai mimpi panasea bagi hati lara oleh asmara.
Gadis putih murni, padusi elok laksana seroja terapung di tengah hening telaga bening jernih. Siapa lelaki tak terpesona oleh cahya teratai putih, padma segala padma, merajut batin resah tatkala dahaga meraja hasratkan rembulan putih suci. Titik-titik hujan menggertap di ujung patera membawa hasrat mendekat meretas mimpi. Dan hasrat setinggi gunung mengepung jiwa lelaki kesepian, mendengus nafsu jalang seribu banteng, sang gadis molek tersentak dari mimpi yang papa tapi apa daya kaki dan tangannya terbelenggu, pedih cambuk lelaki laknat melecuti wajahnya yang putih, merobek seluruh gaun malam, balutan demi balutan tinggal serpihan tak berdaya, hasrat lautan menggempur karang, menghunjam ke dalam gua garba tersia-sia, dan sepanjang perjalanan melintasi malam diterimanya dera tikaman demi tikaman sepedih pisau yang meremukkan batinnya.
Di setiap pergumulan ia ingin seru tuhannya, tapi lidahnya terbelenggu, dan tangan-tangan kokoh lelaki laknat begitu kuat mengunci tubuhnya menyayat jiwanya makin pedih, teteskan darah kental menghitam membasahi relung-relung kesuciannya, membasahi kain sprei putih, menodai tempat pemujaan paling agung dan di depan pintu bilik terkunci gadis paling papa roboh terkapar namun bibirnya kelu masih sempat menyeru, “Duh Gusti… ampun…jangan lagi kau siksa aku seperti ini!” tapi lelaki kalap telah menyelinap pergi lewat titian cahaya membawa tetesan darah rembulan di antara kedua belah kakinya.
***
Daun-daun waru menggoreskan riak kepedihan di atas permukaan kali bangkai, kepapaan yang mengerat hari-hari penuh luka, berguguran dalam perjalanannya mencari kekasih, lelaki malang yang tak kunjung pulang. Hati begitu rapuh oleh kesedihan yang mengiris kalbu. Begitu lama tenggelam dalam isak tangis menghiba, sihir sang perempuan jadi batu, rengkuhi sesal di atas batu-batu sepi membeku, angin dingin riapkan basah embun ke wajah ternoda dan bayangan kelabu kekasih mengabur makin lama makin jauh.
“Duh Gusti, haruskah aku kunyah luka ini?” sementara dada gemuruh api, membakar diri jadi serpihan-serpihan benci dan dendam, bergemuruh… bergemuruh…. dan bayangan kekasih berlepasan… bertebaran, seperti daun-daun gugur dari tangkainya dan jatuh ke permukaan kali bangkai, membuat riak tak berkesudahan dalam hatinya yang kian papa.
Sang gadis tak murni lagi, tubuh begitu lesa lemah tanpa daya, bergolak batin resah jiwa gelisah meraja oleh dera tajam pisau bayangan mata kekasih, membara mengamuk dada, api merepih tuba, asap memedih mata, pedih cuka, menyayat tubuh jauh ke dada, jauh ke dada.
Perjalanan kabut, nista sengsara, merenggut impian surgawi pernikahan yang baru seumur malam, terkoyak-koyak batin putih murni terpuruk hingga jurang paling dalam, tapi perempuan malang itu terus berjalan, berjalan dengan hati sendu, diiringi tembang megatruh pedih membius sukma. Tubuh itu limbung terhela angin, isak tangis membubung tinggi penuh duka lantunkan doa ke hadirat Sang Hyang Widi. Terucap janji setia hati putih murni ingkari duka belum terjamah lagi, belum terjamah lagi oleh angkara murka nafsu gergasi, tapi api di hati tak kunjung padam, tak jua padam warna merahnya, kerkah panasnya, dan bara mengamuk menerjang kuncup-kuncup melati hati putih suci, jiwa putih murni yang tersia-sia, tersia-sia mendamba teduh mata kekasih, lelaki paling malang.
Ada bunyi guruh gemuruh di kejauhan menghalau wajah rembulan yang resah, burung-burung malam terbang tergesa isyaratkan kecemasan musim, angin dingin, hujan pun kembali rintik menitik dan daun-daun luruh ke atas permukaan kali bangkai, riak airnya membayang kilat sekelebat yang sabung-menyabung di langit gelap. Awan kelabu melawat kalbu riuh angin bertalu gemuruh guruh goncang beradu lesak-lesakkan sejuta tanya pada gundah batin papa menyayat luka jauh ke dada. Di luar diri malam tergugu, sepi bintang sepi membeku simpan resah seluruh kisah rembulan lungkrah menelan gundah.
“Di manakah engkau, kekasih?” gadis pasrah tunduk merebah menitik darah jantung terbelah.
“Di manakah engkau, duhai kekasih?” tangan hasrat kembali menggapai tak juga sampai, perempuan malang diamuk sunyi kembara langit sendiri sia-sia mencari.
Menjelang fajar dini hari rumput-rumput sepanjang tepian kali bergoyang mengusir kecemasan mimpi, hati yang galau dan kegeraman perbukitan yang berkilau di kejauhan, menyihir mata orang-orang pergi mengail dan pencari kayu di pinggir hutan, wajah diam terpukau kemilau gaun putih ternoda gadis paling papa, jiwanya masih putih sekalipun tubuh terbalut kepedihan, berdiri ia terpaku di atas bantaran kali bangkai batu beku batu pilu, pucat wajahnya pias cahaya, riap rambutnya sulur rimba melayang dalam remang kabut. Rembulan pucat pecah jadi serpihan bola api berpendar-pendaran di atas permukaan air yang bergejolak, gemuruh…gemuruh… menyelubungi tubuh gadis paling papa yang melompat dengan kepedihan batu ke dalam gejolak gemuruh kali bangkai meninggalkan bunyi guruh bersahut-sahutan di ujung langit kelam.
***
Usai menjaga malam, lelaki malang berjalan seolah terbawa mimpi bersama kabut bayang-bayang kekasih. Gadis itu tersenyum pedih dan kemudian menangis, ada sumbang dalam bibirnya, ada pedih dalam matanya. dan lelaki malang didera seribu cemas hendak mengejar bayang-bayang kekasih yang mengabur seperti kabut. ”Mengapa langit menulis kepedihan dengan wajah muram, seolah mengirim rangkaian isyarat penuh mimpi buruk yang tak kunjung usai?” batin lelaki malang resah tak hentinya bertanya pada diri sendiri.
Rembulan membaca cemasnya di atas pasir yang basah, di mana dilihatnya wajah gadis kekasih hati baru sehari dinikahi membayang semakin jelas, berdiri lunglai di depan mata dengan luka-lukanya yang telanjang. Air mata lelaki malang terurai seolah menumpahkan semua kecemasan yang menyesak dada, “Duhai kekasih, hanya semalam aku pergi dan apa pula yang hendak merenggutmu dari cintaku? tak akan pernah kubiarkan takdir merebutmu dariku!”
Lelaki malang tergesa berlari pulang dan segera masuk ke bilik kamarnya yang sederhana, tapi peraduan telah lisut porak poranda, dan tetesan darah kekasih menggenang membasahi fajar yang merekah di ujung kakinya yang gemetar. Lelaki malang hilang akal menurutkan serpih-serpih cintanya yang berceceran dan bercak-bercak pedih jiwa sang kekasih yang terserak sepanjang tanah basah penuh kerikil tajam. Tak dihiraunya rajam batu-batu ia terus saja berjalan, berjalan begitu jauh hingga rembulan membawanya ke tepi kali bangkai. Bayang kabur gadis disampingnya kembali menangis, menunjuk jasad mengambang yang tersangkut pada akar pepohonan. Bulu kuduk lelaki malang meremang dan sekejap kemudian barulah ia tersadar tengah berdiri di depan jenazah kekasih hatinya yang mulai membusuk, dan dari kejauhan terdengar kesiur bunyi angin mendesahkan kepiluan.
Kuningan, April 2004
Catatan:
Asmaradahana: komposisi tembang macapat untuk mengungkapkan perasan cinta
Dandanggula: bentuk puisi jawa yang merupakan tembang
Megatruh: komposisi tembang macapat untuk melukiskan perasaan kesedihan mendalam
Padusi: perempuan
Panasea: obat mujarab
Parewa: penjahat, perusuh
Patera: daun
Rengeng-rengeng: menembang dengan suara lirih
Sembribit: api yang bergoyang-goyang tertiup angin


0 Comments:

Post a Comment

<< Home